Wellcome To Web Mee Tribe West Papua New Guinea Melanesian Pacific

Suku Mee & Marga Tanah Di Paniai, Papua

Suku Mee & Marga Tanah Di Paniai, Papua

Di tulis oleh : Enago


Pendahuluan

Saya tidak mau melupakan dan merugikan tentang semua cerita yang diwariskan dari nenek moyang, namun kuatir kata ulasan palsu. Saya sudah takut akan semua yang terhilang dalam otak orang mati di negerinya selama ini. Saya merasa rugi semua spiral cerita negeriku yang telah punah bersama dalam otak orang-orang mati. Ini yang saya merasa rugi sekaligus mengakui soal itu karena akibat kami hidup di wilayah yang lebih dominan pertahanan budaya lisan. Maka, semua cerita kami tidak terekam baik dalam tulisan demi generasi kami dan nanti. Akibat itu saya merasa kuatir tentang itu untuk masa depan generasi.

Tentu generasi masa depan akan belajar dan mengetahui cerita sejarah yang akan miring. Mungkin itu yang orang bermaksud cerita sejarah orang menang yang akan hidup terus dan tentu akan dianggap kebenaran. Meskipun begitu terjadinya, saat ini saya merasa malu tetapi saya mau menaruh sebuah tulisan sepangkal ini cerita ‘marga tanah dalam suku mee di Paniai, Papua’. Meskipun cerita ini pun saya menyatakan kemungkinan tidak utuh dan tidak jelas. Saya menaruh penjelasannya hanya berfokus pada topik esai ini yaitu suku mee, arti suku mee, kepercayaan dan larangan, marga nawipa, nawipa amoyepa, dan pernyataan.

Suku Mee

Suku Mee adalah salah satu suku yang mendiami di Pegunungan Tengah Papua bagian barat. Posisinya di antara tubuh dan kepala burung, Papua Barat. Secara etnolinguistik suku Mee merupakan bagian dari ras Trans New Guinea (Papua asli), dan rumpun Melanesia. Suku Mee mempunyai empat kelompok besar, yaitu; marga tanah (makituma), marga kus-kus (wodatuma), marga ular (yinatuma), dan marga batu-pohon (mogopiya). Bahasa yang digunakan ke empat kelompok marga itu adalah “bahasa mee“.

Marga tanah terdiri dari beberapa marga di antaranya nawipa, muyapa, kayame, kadepa, pigai, yatipai, ogetai, bobi, dou, koga, gane, goo, kogi dan badii. Marga kus-kus meliputi marga tenouye, yeimo, yogi, you, dogopiya, kobepa, kogi, kedepa, nakapa,yobe, dll. Marga ular terdiri dari beberapa marga seperti marga degei, mote, edowai, bunai, keiya, iyai, madai, giyai, yukei, tebai, gobai, kudiai, pekei, agapa, yumai, tobai, magai, dll. Sedangkan marga pohon-batu adalah tekege, tagi, pigome, adii dll.

Arti Suku Mee

Secara umum, suku adalah sekumpulan dari dua atau lebih marga yang menghuni di suatu daerah atau kawasan. Sedangkan mee artinya manusia, jadi suku Mee adalah “Suku Manusia” yang terbingkai dalam empat kelompok marga besar yang mendiami di daerah, mapiha, kamu, tigi dan paniai. Suku Mee disebut suku manusia sejati, karena dalam sebutan bahasa mee seorang diri manusia juga disebut mee, contohnya ; seorang wonaipai adalah mee, tidak mungkin disebut dia seekor binatang.

Kepercayaan dan Larangan Suku Mee

Suku mee, dari nenek monyang kepercayaan itu ada. Namun, percaya kepada siapa sampai saat ini penjelasan pastinya agak kontroversial. Selama ini sering terjadi kontroversial karena suku mee itu mempunyai nalar ‘imajinasinya’ tinggi menyebabkan pengaruh bangsa barat sangat gampang ditafsirkan dengan kebiasaan hidup mereka.

Namun, menurut saya tentu saja dari nenek moyang berhadapan langsung dengan alam dan lingkungan di mana mereka tinggal. Selama mereka hidup dari nenek moyang, mereka berhadapan langsung dengan semua yang ada di sekitarnya mereka. Oleh itu sehingga tentu mereka percaya pada segala komponen yang ada pada alam dan langsung membangun relasi. Terkait itu saya pernah membaca satu tulisan oleh seorang intelektual suku mee di media facebooknya. Namanya saya tidak harus menampilkan di sini, menurutnya kepercayaan awal suku mee itu sebenarnya pada tanah, burung, ular, pohon, matahari, bulan, bintang, gunung, air, sungai, danau dan pada batu.

Namun, soal kepercayaan suku mee menurut beberapa filsuf teologi orang mee sering mengungkapan suku mee dari dulu nenek moyang sudan hidup atas asas dua kata bijak yang bersifat kontinuitas yaitu ” “Ayi-ayi  (mencari keselamatan kekal)”, dan “Mobu atau Petitai (puas dan keselamatan)”. Mereka juga mengungkapkan, dari dulu zaman nenek moyang setiap marga yang ada dalam suku mee mencoba dan melakukan berbagai cara untuk mencari keselamatan yang kekal. Cara-cara untuk mencari keselamatan yaitu sebutan “Ugaugamee atau Titita mee atau Poyamee (maha pencipta, mahatinggi, dan manusia suci)”. Setelah, itu mereka juga mencari suatu kehidupan yang bahagia, seperti berkebun (Oda-owada), beternak babi (ekina muni) dan berburuh (boke mainai, woda agopa doutou). Ini semua bertujuan untuk mereka mencari kepuasan dan kebahagiaan (mobu) dalam keluarga sehingga memperoleh keselamatan tubuh (petitai).

Saya belum menyaksikan langsung, tetapi banyak orang yang sering bicara banyak bahkan ada yang sudah menulis tentang  suku mee mempunyai satu dogma/kitab tak tertulis. Saya bertanya (?) disebut kitab/dogma tetapi mengapa tak tertulis ?. Barang itu mereka menyebutkan yaitu “Touye Mana”, terdiri dari  “Tou (ada)” dan “Iye (daun, dogma, kitab, sifat)”, sedangkan Mana (suara/nafas/roh)”. Maka dalamnya mengandung banyak hal berdasarkan waktu, seperti kata “Tota Mana (dulu ada Suara), Topa Mana (Sedang ada Suara), dan Touta (Akan ada Suara)”. Oleh sebab itu, orang mee tahu bahwa dalam “Touye Itu Kekal Adanya”. Mengapa mereka menyatakan demikian ? itu kebenaran atau ulah pengaruh orang asing.  Saya menyampaikan ini perlu dicari tahu lebih dalam agar kedepannya bermanfaat besar yang diwariskannya.

Saya menyampaikan mereka punya aturan (kosmos) larangan sejak nenek moyang. Larangan itu mereka bilang tertulis dogma atau kitab tak tertulis. Mereka mengungkap larangan-larangan itu ada dalam “Touye”. Di dalamnya terkandung beberapa hukum budaya, seperti; kasih, jangan mencuri, jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mengingini istri atau barang orang lain, selalu jujur, menghargai orang tua dan orang yang lebih tua dari kita.

Dalam dogma/kitab tak tertulis itu juga membungkisi hal tidak boleh kawin-mengawin antara semarga besar, seperti dilarang keras saling kawin-mawin antara marga tanah sendiri. Demikian juga antara marga ular, marga kus-kus dan antara marga batu. Ungkapan mereka juga, kami suku mee itu hanya yang layak kawin-mengawin terjadi antar marga tadi, seperti marga kus-kus dengan marga tanah, atau antar marga ular dengan marga batu. Tetapi, kecuali beda marga yang ada hubungan darah dari nenek moyang (mee : wiyetumaa) pun tidak boleh saling kawin. Contonya seperti marga nawipa (marga tanah) dengan marga tekege (marga batu) atau dengan marga yumai (marga ular).

Marga Nawipa

Saya menyesal dan kuatir tetapi saya menuliskan lagi. Saya menulis saya sendiri dan marga sendiri. Marga (clan) nawipa merupakan satu submarga dari marga/kelompok tanah (makituma) di dalam suku mee Paniai, dan ras Trans New Guinea (Papua Asli) dalam rumpun Melanesia. Nenek moyang marga nawipa yang namanya terpopuler di kalangan suku mee adalah “Wonaipai”. Wonaipai mempunyai 2 (dua) istri.

Istri pertamanya memperanakan lima bersaudara, yaitu; keturunan anak pertama mendiami di tiga kampung yaitu baguwo, dinubutu, dan nawipauwo. Kemudian keturunan anak kedua mendiami di gakokotu  dan wegou. Lalu mereka yang keturunan dari anak ketiga mendiami di dinutouda (iyobado), debamomaida, dan widimeidaa. Sedangkan keturunan dari anak ke empat mendiami di kampung geida, ogeida dan makidimi. Dan, mereka yang keturunan dari anak bungsunya mendiami di daerah pasir putih (kenepugi dan kopabaida). Kemudian, keturunan dari adiknya “Wonaipai” adalah mereka yang tinggal di kampung Iteuwo, Baguwo (poge) dan Ogeida sebagian. Keturunan dari istri Kedua dari “WONAIPAI” adalah sebagian “Marga Muyapa” yang mendiami di kampung “Muyabado”.

Arti Marga Nawipa di Paniai Papua

Saya ingin menjelaskan dalam tulisannya ini sebagian cerita nenek moyangnya. Saya jujur mengaku, ketika saya tinggal di kampung saya telah mendengar banyak cerita tentang sejarah hidup masa lalu. Namun saya melupakan semua yang saya pernah dengar. Hanya ini yang saya masih menghafal dan merasa beruntung bagi saya dan teman-temanku kedepan. Saya selamatkan cerita ini dalam bentuk tulisan esai sebagai pilihan saya yang dipertanggungjawabkan demi masa depan.

Ini ceritaku yang saya pernah mendengar dan ingin menceritakan kepada para pembaca yaitu untuk memahami arti asal kata “NAWIPA”. Nawipa terdiri dari dua kata, yaitu; “NAW & IPA”, NAW dari kata “NAWI” diambil dari bahasa daerah Tolikara yang artinya “tanah, kampung, bangsa”. Sedangkan IPA dari kata “IPAA” diambil dari bahasa suku Mee, yang artinya “Kasih, Cinta”. Jadi, NAWIIPAA atau NAWIPA artinya “marga yang mencintai tanah, kampung dan bangsanya”.

Marga nawipa juga adalah bagian dari “marga tanah” seperti yang saudara-saudara marga tanah lainnya. Dari nenek moyang “Wonaipai” sudah tahu betul terkait hubungan antar marga, yaitu seperti; marga muyapa, kadepa, kayame, ogetai, pigai, badi, bobi, dan yatipai. Marga nawipa juga tahu betul terkait hubungan antar marga besar tadi, seperti marga nawipa dilarang keras saling kawin-mengawin antara marga tekege, yumai, poge degei serta semarga tanah lainya.

Marga Nawipa Amoyepaa

Saya menceritakan, keluarganya dari nenek moyang mawipa amoyepa bernama “Tounawude”. Orang kampung pernah menceritakan, selama “Tonawude” hidup, dia pernah “makan roti”. Ceritanya roti itu diberikan oleh tujuh orang bidadari dari puncak gunung waiyamo, namun cerita ini saya tidak terlalu percaya bukti kebenarannya.

Saya, hanya tahu “Tounawude” kawin istri pertamanya “marga kudiai”, tetapi ada juga yang mengembangkan cerita “Tonawude” kawin istri pertamanya adalah Ugiyogouwo (seorang bidadari). Dan istri keduanya “marga nakapa” dari kampung dauwagu. Istri pertama memperanakan satu orang laki-laki bernama “Anotakai”. Istri keduanya memperanakan “Puteipai”. Anotakai adalah keturunan marga nawipa yang mendiami di kampung kopabaida, duwanita, kopamoti, yagewawita, dan kampung tegougida. Sedangkan keturunan “Puteipai” adalah marga nawipa yang mendiami di kampung amopugaida, tetobutu, madoupugida, ugiwatiya sebagian, dan pasir putih sebagian.

Saya ingin menaruh sebuah larangan keras yang ditetapkan oleh “Tonawude” yang harus mematuhi para turunannya. Larangan keras itu mau menghilang, tetapi saya memilih untuk menampilkan lagi bagi para pembaca. Larangan itu berawal setelah saya mendengar cerita dari orang tua di kampung lalu saya memilih untuk menulis dan menaruh di sini. Larangan bijak itu adalah seperti ini.

  • Pertama, jikalau kamu melakukan hal jahat, pasti akan binasa, tetapi Jikalau kamu tidak melakukan hal jahat pasti kamu akan dihormati dan dihargai oleh orang lain (Koudanite ikai peuagiyo akowapaa koo, ikai peudaa akaitaa, kodeya ikaii peuagiyo teakowapa ko meinoka maiya iboo kiyaikaitai).
  • Kedua, Suatu saat satu generasi dari kamu dua, akan membuat masalah besar dan saat itu akan ada hujan besar turun dari langit (kigena kakadeida, ikaiyaka woakebai taa bagepaa, okeiyaka iboo mana miyakee, ibo edii peiyoo uwouye makiye abumaita).
  • Ketiga, Kamu jangan kawin semarga dalam marga tanah maupun marga lain yang sudah menjadi hubungan darah dengan kita (Ikaiwiyake kee wakakoo makituma ma oya tuma inii wiyee bage makoo tee akabuke taii etitaa).

Terkait pernyataan ini, saya memperkirakan sebagai kata-kata firman yang benar. Saya merasa beruntung menulis kembali cerita ini demi saya dan teman-temanku di masa depan dalam marga nawipa. Menurut saya, tiga pesan itu merupakan pondasi agar tidak boleh melakukan kejahatan dalam kehidupan. Untuk memperoleh kehidupan yang damai, aman serta bebas dari para musuh.

Kesimpulan

Tulisan esai ini, meskipun ulasannya hanya berpatokan pada suku mee dan marga nawipa dalam marga tanah serta kepercayaan dan larangan adat dalam sepanjang hidup mereka. Dalam tulisan ini pun, saya hanya menunjukan apa yang saya bisa menceritakan sebagaimana saya dapat cerita dari orang. Meskipun saya tidak banyak menghafal tentangnya tetapi hanya ini yang saya masih ingat.

Oleh sebab itu saya menyimpulkan makna tulisan ini bagus dalam pengertian pemahaman umum. Dalam tulisan ini saya menunjukan pandangan dan pemahaman generasi muda suku mee yang sering mereka tidak sadar mengungkap asas kebenaran yang dapat dipercaya dan ilmiah. Maka, melalui cerita ini saya hampir menunjukan sebuah kebenaran yang perlu disadari bersama. Saya juga merasa kesal dalam hal sepangkal cerita kebenarannya yang telah ditunjukan. Saya menyatakan makna tulisan ini pemikiran kebenarannya sudah mencapai 90%, namun untuk menjadi 100% saya berpesan kita sama-sama mencari untuk melengkapi.

***

Pernyataan :

“Saya menaruh pernyataan asas ulasan esai ini kepada suku mee yang di dalamnya melingkupi “marga tanah (tanah air), marga batu-pohon (flora-fisik), marga kus-kus (fauna), dan marga amphibi (fauna daratan dan air) lebih baik jangan jual itu. Sebagai bagian dari suku mee, saya menyatakan komponen dan komunitas alam itu bagian dari nama marga kita sebagai sebuah relasi yang tidak boleh dipisahkan, sehingga saya menegaskan berhenti jual tanah, hutan, air, dan semua komponen alam yang ada kepada orang lain. Bilamana, orang mee menjual itu semua, saat itu pun orang mee sudah mati. Saya berpesan sebelum terlambat saatnya “sadar diri”. Ini, saya sangat kuatir karena terkait resiko dan ancaman masa depan yang kita akan menghadapinya sangat sulit”.

Referensi;

[1]. Yoseph T.Bunai, Mobu dan Ayii, Jalan Menuju Keselamatan Inisial dan Kekal Menurut Suku Mee di Papua, ELMASME GAIYA dengan Dewat Adat Paniai, cetak I Jakarta, 2007


Sumber :

https://demimaki.wordpress.com/tentang-enago

Post a Comment

0 Comments