KENIYAPA YUWO: PESTA ADAT TERAKBAR SUKU MEE YANG KINI TERACAM EKSISTENSINYA
Mengandung filosofi Kekerabatannya yang Mulia
Oleh Ir. Yan Ukago, MT-IPU-Haki
#YUWO : Di balik hamparan Pegunungan Wissel Meren di Meepago, Tanah Papua, terdapat satu tradisi akbar yang menjadi identitas kebanggaan masyarakat Suku Mee: Yuwo. Ini bukan sekadar pesta makan besar, tetapi peristiwa budaya yang menyatukan puluhan ribu orang dari berbagai kampung sejagat orang Mee (Meuwoodidee) dalam semangat persaudaraan, gotong royong, dan harga diri kolektif.
Misalnya pada 28 Juli 2015 silam, Kampung Keniyapa di Yaweididee menjadi tuan rumah Yuwo, yang tercatat sebagai salah satu perayaan adat terbesar dalam dekade terakhir, saat tulisan ini dibuat. Di atas tanah kampung itu, berdiri 25 rumah pesta adat (kewita) berukuran sekitar 15 x 30 meter. Setiap kewita bersiap dengan puluhan ekor ekina (babi ternak), sayur-sayuran, dan umbi-umbian untuk menjamu para tamu. Taksiran total ternak babi yang dipersiapkan di Keniyapa kala itu mencapai 1500 ekor—jumlah yang mencerminkan besarnya pengorbanan dan kesungguhan sebuah kampung dalam menyelenggarakan Yuwo. Jumlah pengunjung yang datang hampir 120 ribu orang. Pada jaman duluh semua menginap dikampung itu tapi kini setelah transpotasi terbuka bisa datang dengan mobil.
Tradisi Yuwo telah berlangsung turun-temurun sejak masa nenek moyang orang Mee. Esensinya bukan hanya memberi makan, melainkan membangun kembali jaringan kekerabatan, transaksi ekonomi, bahkan menjadi ruang sosial yang mempertemukan generasi muda untuk mencari jodoh.
Tradisi yang Penuh Arti Sosial
Pada masa lampau hingga kini, setidaknya empat makna utama melekat dalam penyelenggaraan Yuwo:
1. Pengikat Kekerabatan: Dalam momen ini, keluarga yang telah lama terpisah oleh gunung dan danau kembali bersatu. Anak-anak muda diajak mengenali silsilah dan belajar bagaimana orang tua mereka membangun hubungan antarkampung.
2. Transaksi Ekonomi: Selain makanan, Yuwo juga menjadi pasar tradisional. Ada pertukaran uang adat (mege), uang negara, hasil kebun, kerajinan tangan, bahkan pernik-pernik adat. Pendapatan dari kegiatan ini bisa digunakan untuk biaya pendidikan, membangun rumah, atau membayar mas kawin.
3. Perjodohan Sosial: Secara historis, Yuwo merupakan satu-satunya ruang terbuka dan resmi di mana pemuda-pemudi bisa saling bertemu dan mengenal lebih dekat. Ada pantun-pantung adat (ugaa) di ruang dansa. Dalam suasana meriah, benih-benih cinta sering tumbuh dan berlanjut dalam pernikahan adat.
4. Ujian Harga Diri: Menjadi tuan rumah Yuwo adalah kehormatan sekaligus ujian besar. Ribuan orang datang dengan harapan dapat membawa pulang bekal di kampung masing-masing. Tuan rumah memikul beban moral untuk menyambut semua dengan baik, termasuk mereka dari kalangan miskin, yatim piatu, atau anak-naka yang terlantar. Kegagalan memenuhi ekspektasi bisa berdampak pada reputasi kampung di mata publik Meepago.
Di Balik Keagungan, Ada Beban Berat
Tak semua kampung mampu menyelenggarakan Yuwo. Harus ambil tanggung jawab moral. Perlu waktu dua hingga tiga tahun mempersiapkan segala sesuatu, piara ribuan ekor babi dan membuka ratusan hektare kebun nota bugii (petatas). Risiko dari alam juga menanti seperti musim kemarau atau banjir, yang bisa mengancam seluruh rencana. Persiapan Yuwo ditandai kegiatan yang disebut "onage motii"dengan pembangunan rumah dansa laki-laki (emawaa), sebagai tanda awal bahwa pesta besar akan datang. Begitu tanda itu muncul, kabar akan rencana pesta akan menyebar ke seluruh penjuru negeri wilayah suku Mee bahkan sampai ke suku Moni di arah timur, dan setiap keluarga mulai menabung ternak dan makanan. Termasuk mereka di kampung jauh, yang ada kekerabatan dengan kampung tuan rumah pesta. Yang paling berkorban adalah keluarga-kluarag yang mama kandungnya asal dari kampung tersebut, (ukauwo), klau sudah sebut ukauwo, dalam tradsisi orang Mee adalah harga diri yang paling terkahir.
Intinya yuwo adalah pesta terakhbar dengan makna kekerabatan, ekonomi, sosial dan harga diri orang Mee dari masa lampau hingga kini.
Ketika Nilai-Nilai Adat Mulai Terkikis
Namun kini, di tengah pesatnya perubahan sosial dan campur tangan kekuasaan, nilai filosofis Yuwo mulai bergeser. Yuwo bukan lagi makna kekerabatan, sosial, ekonomi dan harga diri yang dibungkus dalam pesta adat akbar namun tergeser persainagn antara Kaiser dan Rakyat. Beberapa pejabat anak daerah mulai Kepala dinas hingga bupati, yang asal dari kampung itu atau terdekatnya terlibat langsung sebagai penyelenggara. Mereka membeli babi dari luar wilayah, bahkan dari pasar Toraja di kota Enarotali, Waghete atau Nabire, bukan memeliharanya dari keringan sendiri sebagaimana rohnya tradisi leluhur. Boleh bawa dari kampung lain tapi dipiara sendiri dan dibawa dengan iklas dan penuh pengorbanan.
Akibatnya, terjadi kompetisi tak sehat antara rakyat biasa yang bekerja keras memelihara babi selama bertahun-tahun, dengan para elite lokal yang memanfaatkan uang negara dan jabatan. Persaingan tak berimbang. Situasi ini menciptakan ketimpangan dan konflik sosial, bahkan dalam beberapa kasus, mengoyak ikatan kekerabatan yang telah terjalin puluhan tahun. Sebuah pesta adat yang dulunya penuh kegembiraan, kini kadang berakhir dengan luka dan perpecahan.
Seruan untuk Pemulihan
Memang yuwo menyedot waktu tenaga dan materi. Terkadang dalam yuwo ada aksi unjuk kebolehan yang mengarah pada kesombongan, makanya sempat dilarang oleh agama nasrani pada awal masuknya di wilayah ini.
Meskipun demikian Yuwo bukan sekadar pesta. Ia adalah sistem nilai. Tradisi ini mengajarkan tentang solidaritas, etos kerja, keberanian, pengorbanan, dan cinta kasih antarumat manusia. Dalam yuwo ada unsur kerja keras, piara ternak ekina dan berkebun, dalam ketidakpastian ada keberanian ambil tanggung jawab dengan perencanaan yang matang. Karena itu, masyarakat adat Meepago perlu segera menyusun regulasi adat, agar pesta Yuwo kembali pada akar filosofisnya, sebagai jantung budaya yang menyatukan, bukan memecah belah.
Yuwo adalah cermin harga diri orang Mee. Ia bukan milik elite, bukan juga panggung adu gengsi. Ia adalah warisan budaya yang harus dilestarikan dengan kehormatan.
(Keniyapa, 28 Juli 2015 – Tanah kelahiran Awikaituma Jr.)
https://web.facebook.com/awikaituma.j.awikaituma




0 Comments